Maksud Mesin Slot Pragmatik Dalam Bahasa Indonesia

Maksud Mesin Slot Pragmatik Dalam Bahasa Indonesia

Ahli bahasa dalam sejarah pragmatik

Ahli bahasa yang pertama-tama memunculkan pragmatik dalam kajian bahasa adalah Charles Sanders Peirce dan John Dewey. Peirce, seorang filsuf Amerika, dikenal sebagai salah satu pendiri pragmatisme filosofis. Ia menyatakan bahwa makna sebuah kalimat ditentukan oleh implikatur yang dihasilkannya ketika digunakan dalam situasi komunikasi tertentu. Dewey, seorang filsuf Amerika juga, mengembangkan konsep pragmatisme dalam bidang pemikiran yang berbeda. Namun juga menekankan pada pentingnya konteks dalam menentukan makna.

Selain Peirce dan Dewey, beberapa ahli bahasa yang memainkan peran penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik adalah J.L. Austin dan H.P. Grice.

Austin mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory), yang menekankan pada bagaimana kalimat digunakan untuk bertindak seperti membuat perintah atau membuat janji.

Grice mengembangkan Relevance Theory, yang menekankan pada bagaimana makna ditentukan oleh implikatur yang dihasilkan oleh konteks komunikasi.

John Searle juga memiliki peran penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik. Ia dikenal sebagai salah satu pengembang teori tindak tutur, yang dicetuskan oleh J.L. Austin.

Searle menyempurnakan teori ini dengan menambahkan konsep-konsep seperti tuturan performatif (performative utterances) dan tindak ilokusi. Tuturan performatif adalah kalimat yang digunakan untuk melakukan tindakan komunikatif, seperti membuat perintah atau membuat janji. Tindak ilokusi adalah tindakan komunikatif yang diharapkan dari sebuah kalimat.

Selain itu, Searle juga mengembangkan konsep implikatur konvensional. Implikatur konvensional adalah implikatur yang dihasilkan oleh konvensi sosial dalam bahasa.

Secara keseluruhan, teori yang dikembangkan oleh John Searle sangat penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik. Teori tersebut juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman tentang bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi nyata dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian.

Pemikiran Searle tersebut dapat ditemukan di dalam buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language yang diterbitkan pada tahun 1969. Dalam buku tersebut, ia menggunakan pendekatan filosofis untuk menjelaskan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi komunikasi nyata dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian. Buku ini menjadi sangat penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik dan menjadi salah satu referensi penting dalam bidang ini.

Penulis: ChatGPT & Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

Ketidakpuasan terhadap linguistik struktural

Ada pandangan yang menyatakan bahwa pragmatik dalam linguistik lahir dari ketidakpuasan para ahli bahasa terhadap kajian linguistik struktural. Kajian linguistik struktural adalah pendekatan yang menekankan pada analisis bahasa dari sudut pandang sintaksis dan morfologi.

Pendekatan ini mencoba untuk menguraikan bahasa menjadi komponen-komponennya yang paling dasar dan menjelaskan bagaimana komponen-komponen tersebut digabungkan untuk membentuk kalimat yang baik.

Namun, para ahli bahasa yang bekerja dalam pendekatan struktural menemukan bahwa pendekatan ini tidak dapat menjelaskan semua aspek dari bahasa, terutama aspek-aspek yang berhubungan dengan konteks dan makna.

Mereka merasa bahwa pendekatan struktural tidak dapat menjelaskan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi komunikasi nyata, atau bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian.

Oleh karena itu, para ahli bahasa mulai mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai pragmatik, yang menekankan pada analisis bahasa dari sudut pandang konteks dan makna. Pragmatik mencoba untuk menjelaskan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi komunikasi nyata dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian.

Munculnya pragmatik dalam linguistik didorong oleh keinginan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks pemakaiannya. Adapun hal itu tidak dapat diterangkan oleh pendekatan linguistik struktural.

Pragmatik dalam Interpretasi Sastra

Pengantar: Konsep Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang muncul dari pandangan Charles Morris (1938) berkenaan dengan semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotika ke dalam tiga bagian, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya. Semantik mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya. Sementara pragmatik mengkaji hubungan lambang dengan penafsirannya (Darma, 2014: 73; Zamzani, 2007: 15--16). Pragmatik muncul sebagai usaha mengatasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat.

Pragmatik berasal dari kata pragma dalam bahasa Yunani yang berarti ‘tindakan’ (action) (Seung, 1982: 38). Kajian pragmatik terkait langsung dengan fungsi utama bahasa, yaitu sebagai alat komunikasi. Geoffrey Leech menyatakan bahwa kajian pemakaian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi secara umum disebut pragmatik umum (1993: 15).

Apa yang dikemukan oleh Leech sejalan dengan pandangan Stephen C. Levinson (dalam Zamzani, 2007: 16--19) yang menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian tentang pemakaian bahasa. Levinson juga memberikan lima sudut pandang mengenai  pragmatik sebagai berikut.

Pertama, pragmatik dipandang sebagai kajian tentang hubungan bahasa dengan konteks yang digramatikalisasikan atau yang dikodekan dalam struktur bahasa. ... Pandangan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara sintaksis dan pragmatik. ...

Kedua, pragmatik merupakan kajian aspek makna yang tidak tercakup atau dimasukkan dalam teori semantik. Pragmatik dipandang memiliki hubungan dengan semantik. Baik pragmatik maupun semantik kedua-duanya mengkaji tentang makna atau arti. ...

Ketiga, pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa. Pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman. Pemahaman terkait dengan masalah makna pula. ...

Keempat, pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan kalimat itu. ...

Kelima, pragmatik sebagai bidang ilmu mandiri. Pragmatik memiliki lima cabang kajian, yaitu deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur atau tidak bahasa, dan struktur wacana.

Deiksis adalah cabang pragmatik yang mengkaji pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks. Implikatur adalah cabang pragmatik yang mengkaji makna konotatif. Praanggapan merupakan sesuatu yang diambil oleh penyapa sebagai dasar berpijak yang dipakai bersama-sama antarpartisipan suatu percakapan. Oleh karena itu, secara pragmatik, praanggapan dapat dipandang sebagai asumsi penyapa dalam membuat pesapa menerima apa yang dinyatakan penyapa. Tindak bahasa merupakan suatu kegiatan penutur menggunakan bahasanya dalam berkomunikasi.

Berdasarkan pandangan Levinson tersebut, Zamzani (2007: 20) menyimpulkan bahwa:

Kajian pragmatik terkait dengan linguistik yang bersinggungan dengan sintaksis, dan makna yang bersinggungan dengan semantik. Pragmatik membatasi kajiannya pada pemakaian bahasa yang tidak dilepaskan dari konteksnya. Pragmatik dapat dipandang sebagai suatu keterampilan sekaligus ilmu. Sebagai keterampilan, pragmatik mengungkap kemampuan pemakai bahasa yang dikaitkan dengan konteks pemakaian yang tepat sehingga komunikatif. Sebagai ilmu yang mandiri, pragmatik mencakup dieksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan struktur wacana.

Berdasarkan pandangan Levinson juga dapat dipersepsi dan diposisikan bahwa pragmatik dalam sastra berangkat dari sudut pandang yang ketiga dan keempat, yakni “pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa” dan “pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan kalimat itu”. Sudut pandang ketiga dan keempat ini termasuk bidang garap sosiopragmatik karena termasuk pemakaian bahasa dalam konteks yang bersifat spesifik, yaitu “pemakaian bahasa dalam komunikasi terkait dengan faktor-faktor nonbahasa yang merupakan kondisi sosial dan budaya ‘lokal’ yang bersifat spesifik” (Zamzani, 2007: 20--21). Sekali lagi, pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman, yang terkait dengan masalah makna. Pandangan tersebut sejalan dengan prinsip hermeneutika interpretasi Paul Ricoeur tentang interpretasi teks, yaitu dalam memperoleh makna teks membutuhkan konteks-konteks, yaitu penjelasan (explanation) terhadap dunia di dalam teks sekaligus pemahaman (understanding) terhadap dunia luar yang diacu oleh teks.

Pragmatik dalam Interpretasi Sastra

Tirto Suwondo (2016: 35) dengan mengutip pertanyaan dari John L. Austin, sekaligus sebagai judul bukunya (1962) How to Do Things with Words”, mengilustrasikan pragmatik dalam studi sastra. Menurutnya, “pragmatik sastra adalah studi tentang tindakan apa yang sesungguhnya dilakukan dalam kaitannya dengan karya sastra”. Bertolak dari kata tindakan itu, T.K. Seung menyatakan bahwa “dalam ruang lingkup semiotik, pragmatik adalah studi tentang penggunaan tanda” (1982: 76--80). Karena karya sastra bermediumkan bahasa, yang dimaksudkan dengan pengunaan tanda ialah tanda-tanda di dalam komunikasi bahasa.

Dalam studi bahasa, pragmatik muncul sebagai usaha mengatasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat. Mengutip Kempson (1977; dalam Darma, 2014: 73--74), teori semantik dianggap masih terbatas kemampuannya untuk menjelaskan fenomena kebahasaan. Pragmatik muncul sebagai usaha untuk mengatasi kebutuhan semantik dalam menafsirkan sebuah makna ujaran dalam kalimat. Pada dasarnya antara semantik dan pragmatik nyaris sama karena berhubungan dengan makna. Namun, segala aspek makna yang tidak tercakup di dalam teori semantik ditelaah oleh pragmatik dengan mempertimbangkan konteksnya, yaitu pembicara, pendengar, pesan, latar atau situasi, saluran, dan kode.

Sama halnya dalam studi bahasa, dalam studi sastra pun penafsiran makna teks yang hanya dilakukan dengan cara analisis semantik (teks itu sendiri) hanya akan menghasilkan makna yang tidak pasti. Oleh karena itu, Tirto Suwondo (2016: 36) dengan meneruskan pendapat Seung (1982: 38) menyatakan bahwa penafsiran semantik akan lebih baik jika dilanjutkan dengan penafsiran pragmatik karena makna teks akan menjadi lebih pasti jika diperoleh dari atau dicapai di dalam penggunaannya. Hal itu karena penafsiran pragmatik secara otomatis akan melibatkan konteksnya, yaitu para pengguna, intensi, tindakan, lingkungan, dan semacamnya. Oleh karena itu, Rudolph Carnap (dalam Seung, 1982: 79) berkesimpulan bahwa pragmatik merupakan studi yang paling konkret dan menjadi basis bagi semua linguistika (pragmatics is the basis for all of linguistics).

Menurut Suwondo (2016: 37), Morris mengembangkan konsepsi pragmatiknya melalui pembagian triadik tanda model semiotik Charles Sanders Peirce (dalam Seung, 1982: 76). Dari konsep triadik itu, Morris memperkenalkan tiga elemen signifikasi yang disebut tiga hubungan semiosis, yaitu sarana tanda (the sign vehicle), yang dituju (the designatum), dan penafsir (the interpreter). Dari konsepsi ini Morris membedakan tiga dimensi semiosis, yaitu dimensi sintaksis yang merupakan relasi formal tanda dengan tanda lainnya, dimensi semantis yang merupakan relasi tanda dengan objeknya, dan dimensi pragmatik yang merupakan relasi tanda dengan penafsirnya. Oleh karena itu,  Morris (dalam Seung, 1982: 78) mendefinisikan semantik sebagai studi tentang signifikasi tanda dan perilaku interpretan tanpa signifikasi, sedangkan pragmatik didefinisikan sebagai studi tentang asal-usul, penggunaan, dan pengaruh (efek, kesan) tanda dalam perilaku penafsir secara keseluruhan.

Suwondo (2016: 38) juga mengemukakan bahwa problem penggunaan tanda secara pragmatik ini kemudian diatasi oleh John L. Austin dengan tiga klasifikasi teori tindakan-ujaran, yaitu lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner. Lokusioner (locutionary) adalah suatu tindakan memproduksi kata atau rangkaian kata (bahasa), ilokusioner (illocutionary) adalah tindakan yang menampilkan penggunaan kata atau rangkaian kata (bahasa) di balik tindakan lokusioner, dan perlokusioner (perlocutionary) adalah tindakan bertujuan untuk mencapai efek tertentu di balik tindakan lokusioner dan ilokusioner. Tindakan ilokusioner memiliki suatu kekuatan, sedangkan tindakan perlokusioner memiliki efek (bandingkan Zamzani, 2007: 38--40; Darma, 2014: 84--88; Tarigan, 2015: 100--104).

Morris memberikan pengertian penggunaan tanda itu identik dengan tujuan (dalam Seung, 1982: 80), sebagaimana dicontohkannya tentang tindakan seseorang menulis cerpen untuk mendapatkan uang. Menurut Morris (dalam Seung, 1982: 87; Suwondo, 2016: 38), menulis cerpen merupakan tindakan-ujaran yang memiliki dua tujuan, yaitu menulis cerpen (tujuan internal) dan mendapatkan uang (tujuan eksternal). Tujuan internal direalisasikan dalam penampilan tindakan dan tujuan eksternal direalisasikan dengan penampilan tindakan. Ketika tindakan ujaran dibatasi pada tujuan internal, tindakan itu merupakan tindakan ilokusioner. Ketika tindakan ujaran sampai pada tujuan eksternal, tindakan itu merupakan tindakan perlukisioner (Leech, Terj. Oka, 1993: 316--322).

Masalahnya adalah “di dalam bahasa karya sastra tidak terdapat kondisi normal tindakan-ujaran.” Demikian pendapat Austin (dalam Seung, 1982: 91) yang dikutip oleh Suwondo (2016: 39). Dalam bahasa karya sastra kondisi normal, referensi sering kali tertunda, tidak benar-benar mendorong munculnya efek bagi pembaca karena penggunaan bahasa dalam sastra bersifat parasitis (abnormal). Namun, dengan tidak mempermasalahkan ujaran normal dan tidak normal dan tidak membedakan fakta dan fiksi, studi pragmatik tetap merupakan studi yang komprehensif karena melibatkan aspek yang lebih luas, yaitu para pengguna tanda, inteksi, tindakan, lingkungan, dan efek.

Paparan Suwondo yang bersumber dari Semiotic and Thematic in Hermeneutics karya Seung (1982) tersebut menyimpulkan bahwa pragmatik sastra pada dasarnya adalah sebuah strategi pemaknaan, yaitu pemaknaan pragmatis. Dikatakan demikian karena:

... dilihat dari kerangka berpikir dan metodologinya, studi pragmatik memfokuskan perhatian pada interpretasi dan pemaknaan (decoding) tanda (teks sastra) dengan cara melibatkan konteks penggunaan yang mencakupi para pengguna, intensi, tindakan, dan lingkungan (kode) budaya yang memengaruhinya. Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan para pengguna itu tidak lain adalah penulis (pengarang beserta intensi-intensinya) dan pembaca (penikmat beserta proyeksi-proyeksinya) karena sebagai fakta kemanusiaan karya sastra dicipta oleh pengarang dan tindakan penciptaan itu dilakukan dengan tujuan tertentu, salah satunya agar nilai-nilai (ideologi, gagasan)-nya memiliki pengaruh (efek) bagi pembaca” (Suwondo, 2016: 40).

Secara kerangka berpikir, memfokuskan perhatian pada interpretasi tanda dengan cara melibatkan konteks penggunaan tersebut seperti halnya hermeneutika dalam membaca suatu teks: ia tidak dapat menghindar dari prasangka yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari berbagai gagasan. Hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi (Faiz, 2003: 12). Karenanya, sebuah teks selalu berdiri di antara penjelasan struktural yang bersifat objektif dan pemahaman hermeneutika yang memberi kesan subjektif, yang saling berhadapan. Dikotomi objektivitas dan subjektivitas ini oleh Ricoeur (dalam Sumaryono, 1999: 108) diselesaikan dengan jalan sistem bolak-balik: penafsir melakukan pembebasan teks (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks (dalam perspektif pragmatik ini merupakan tindakan ilokusioner). Kemudian penafsir melakukan langkah kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latar belakang terjadinya teks dan semacamnya (dalam perspektif pragmatik ini merupakan tindakan perlokusioner).

Secara metodologis, Ricoeur menjelaskan langkah pemahaman itu menjadi tiga, yang berlangsung mulai dari penghayatan terhadap simbol-simbol sampai ke tingkat gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol, yaitu: (1) langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol, (2) pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, dan (3) langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik-tolaknya (Ricoeur, Terj. Hery, 2003: 162--164; Sumaryono, 1999: 111; Faiz, 2003: 36).

Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman bahasa, yakni langkah semantik, refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantik merupakan pemahaman pada tingkat bahasa yang murni. Hal ini merupakan langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol yang bertujuan internal, yakni pemahaman yang didasarkan dari simbol-simbol itu sendiri. Dalam perspektif pragmatik langkah ini merupakan tindakan ilokusioner.

Sementara itu, baik langkah pemahaman refleksif maupun langkah pemahaman eksisitensial bertujuan eksternal dan karenanya merupakan tindakan perlokusioner. Langkah pemahaman refleksif setingkat lebih tinggi--mendekati ontologis--sedangkan langkah pemahaman eksisitensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri. Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman itu pada dasarnya cara berada (mode of being) atau cara menjadi. Bagi Ricoeur, sebab pemahaman adalah salah satu aspek proyeksi Dasein (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaannya terhadap being. Oleh sebab itu, kita memahami manusia sebagaimana dia menjadi (dalam Sumaryono, 1999: 111--112).

Sudut pandang pragmatik tersebut menempatkan kajian sastra yang berorientasi kepada nilai kegunaan karya sastra bagi pembaca. Sudut pandang pragmatik sastra muncul karena ketidakpuasan terhadap kajian struktural murni yang mempersepsi dan memposisikan sastra sebagai teks belaka. Kajian struktural murni melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau yang memberi makna terhadap teks.

Secara pragmatik, betapa pun hebatnya sebuah karya sastra jika ia tidak dipahami oleh pembacanya, maka teks sastra tersebut diposisikan sebagai black literature (sastra hitam) yang hanya bisa dipahami oleh penulisnya sendiri. Oleh karena itu, aspek pragmatik menjadi penting ketika teks sastra dipersepsi dan diposisikan sebagai keindahan dan kemanfatan bagi pembaca (dulce et utile) sebagaimana konsep Horace. Sudut pandang tersebut sebagaimana orientasi Edgar Allan Poe terhadap sastra yang berfungsi menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu (didactic heresy) (dalam Wellek dan Warren, 1989: 24--25). M.H. Abrams (1976: 14--21) dengan mengutip konsep pragmatik sastra dari Philip Sidney yang sejalan dengan konsep Horace mengatakan bahwa sastra mempunyai fungsi to teach (memberikan ajaran) dan delight (memberikan kenikmatan). Hal senada diungkapkan oleh John Hall (1979: 131) yang mengatakan bahwa karya sastra hendaknya memiliki fungsi use and gratifications (berguna dan memuaskan). Oleh sebab itu, fungsi kritik sastra berorientasi kepada pembaca dengan menunjukkan adanya konsep efek komunikasi sastra, yaitu docere (memberikan ajaran), delectare (memberikan kenikmatan), dan movere (menggerakkan pembaca).

Menurut Endraswara (2003: 116), ada tiga ranah penelitian pragmatik di dalam sastra, yaitu:

Pertama, melibatkan teks dan potensinya untuk memungkinkan dan memanipulasi suatu produk makna. Teks sastra adalah fenomena yang dikonkretkan oleh pembaca. Kedua, dalam proses membaca teks, yang paling penting adalah imaji-imaji mental yang terbentuk tatkala menyusun sebuah objek-objek yang kohesif dan konsisten. Ketiga, melalui struktur sastra yang komunikatif diteliti kondisi-kondisi yang memungkinkan muncul dan mengatur interaksi antara teks dan pembaca.

Akhirnya, yang terpenting di dalam karya sastra ialah bagaimana seorang sastrawan mentransformasikan pengalaman batin dan pandangan hidupnya (weltanschauung) serta pengalaman estetiknya melalui karyanya yang bernilai seni sastra. Sastrawan tetap mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni yang sejalan dengan hakikat estetika, moral, dan pandangan hidup. Hal itu sebab pencapaian estetika yang tertinggi dalam sudut pandang pragmatik profetik Islam disebut hikmah. Sebagaimana orientasi pragmatik profetik yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa hikmah harus dicapai di dalam karya sastra (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985: 31): “Sejumlah puisi mengandung hikmah; Hikmah adalah unta orang beriman yang hilang: apabila ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya.” *****

Abrams, M.H. 1976. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press.

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Words. London & New York: Oxford University Press.

Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung: Refika Aditama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani. Cet.III. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2014. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press.

Hall, John.1979. The Sociology of Literature. London & New York: Longman.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terj. M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ricoeur, Paul. 1976. The Interpretation Theori: Discourse and The Surplus Meaning. Forthworth, Texas: The Texas Christian University Press.

________. 1978. The Rule of Metaphore: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. Tranlated by Robert Czermy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

________. 1982. Hermeneutics and the Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation. Editor John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press.

Seung, T.K. 1982. Semiotics and The Thematics in Hermeneutics. New York: Columbia University Press.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, Tirto. 2016. Pragmatisme Pascakolonial (Trilogi Gadis Tangsi dalam

Tarigan, Henry Guntur. 2015. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta: Cipta Pustaka.

Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan melalui penafsiran terhadap situasi penuturannya.[1] Dalam linguistik, pragmatik merupakan salah satu bagian dari semiotika.[2] Prinsip-prinsip di dalam pragmatik meliputi sintesis antara studi, maksud dan tuturan.[3] Sementara aspek yang dilibatkan dalam pragmatik ialah unsur bahasa, penutur bahasa dan penaksir bahasa.[4] Pragmatik mengkaji makna kontekstual atau makna situasional berdasarkan latar tempat, latar waktu, partisipan, tujuan topik dan media komunikasi.[5] Acuan dalam analisis makna pada komunikasi lisan di dalam pragmatik menggunakan teori tindak tutur.[6] Teori pragmatik digunakan salah satunya sebagai cara untuk menilai tujuan tertentu di dalam karya sastra berisi nilai atau ajaran yang ditujukan kepada pembaca.[7] Selain itu, pragmatik juga mengkaji tentang wacana.[8]

Pandangan awal mengenai pragmatik dikembangkan oleh Charles W. Morris pada tahun 1938. Landasan pengembangan pragmatik yang digunakan oleh Morris adalah semiotika. Ilmu semiotika dibagi oleh Morris menjadi semantik, sintaksis dan pragmatik. Ilmu pragmatik kemudian berkembang di Eropa selama periode 1940-an. Pada tahun 1960, Michael Halliday mengembangan sebuah teori sosial yang menjadikan bahasa sebagai sebuah fenomena sosial. Selanjutnya, di Amerika Serikat pada tahun 1962 berkembang paham pragmatik yang berasal dari pemikiran filsafat J. L. Austin. Karya Austin yang mempengaruhi ilmu pragmatik di Amerika Serikat ialah sebuah buku berjudul How to Do Things with Words (1962). Pemikiran utama dari Austin ialah mengenai tuturan performatif dan konstatif serta gagasan tentang lokusi, ilokusi, perlokusi dan daya ilokusi dari tuturan. Ilmu pragmatik di Amerika Serikat juga dipengaruhi oleh murid Austin yang bernama John Searle. Ia mengembangkan pemikiran-pemikiran Austin dan menerbitkan karya-karyanya mengenai pragmatik pada tahun 1969 dan 1975. Konsep penting yang dikembangkan oleh Searle adalah tentang tindak tutur. Selain Austin dan Searle terdapat beberapa pemikir lainnya yaitu Paul Grice, John Rankine Goody, Stephen C. Levinson dan Mey.[9]

Istilah pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh Charles W. Morris melalui pembagian semiotika.[10] Pragmatik memiliki dua makna dalam arti yang luas maupun sempit. Secara luas, pragmatik diartikan sebagai salah satu bagian dari semiotika. Pemaknaan ini diberikan oleh Morris. Pragmatik dalam arti luas ini digunakan dalam berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan bahasa, antara lain psikpatologi komunikasi dan evolusi sistem simbol. Sementara dalam arti sempit, pragmatik merupakan suatu kondisi penelitian yang memiliki rujukan nyata tehadap pengguna bahasa atau pembicara. Pemaknaan kedua ini diberikan oleh Rudolf Carnap.[11]

Filsafat bahasa biasa muncul sebagai pertentangan atas pandangan bahwa bahasa dibentuk melalui atomisme logis dan positivisme logis yang menggunakan logika yang rumit. Tokoh pemikirnya yang paling awal adalah Ludwig Wittgenstein. Kemunculan filsafat bahasa biasa mempengaruhi pemikiran-pemikiran filsafat di Eropa. Kajian atas filsafat bahasa biasa ini kemudian mengutamakan aspek pragmatik dari suatu bahasa. Filsafat bahasa biasa kemudian mengkaji ulang tentang makna kehidupan manusia melalui bahasa.[12]

Sosiolinguistik mengkaji tentang variasi bahasa dan penggunaan bahasa di lingkungan sosial dari suatu masyarakat. Konteks sosilinguistik berkaitan dengan pragmatik, karena sosiolinguistik mengkaji unsur-unsur di luar bahasa. Hubungan antara sosioloinguistik dengan pragmatik ada dua. Pertama, pragmatik mempelajari aspek konteks yang menentukan makna dari suatu tuturan. Kedua, pragmatik mempelajari persyaratan yang mengakibatkan adanya kesesuaian antara pemakaian bahasa dalam komunikasi. Konteks diperlukan dalam pragmatik untuk bahasa-bahasa tertentu. Konteks ini berkaitan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang meliputi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, dan jenis kelamin.[13] Kajian pragmatik di dalam sosiolinguistik berkaitan dengan kompetensi sosial dan budaya dari penggunaan bahasa. Sosiolingusitik mengarahkan penerapan pragmatik dalam pembelajaran bahasa yang sifat tuturannya lebih baik dan merupakan bahasa yang berterima.[14]

Prinsip kesantunan berbahasa digunakan dengan asumsi pragmatik untuk melakukan penolakan menggunakan suatu bahasa. Kesantunan berbahasa diketahui selama penuturan dilakukan oleh penutur. Penolakan ini merupakan reaksi dari penuturan lawan tutur. Jenis penuturannya berisi ungkapan yang tidak menerima dan tidak menyetujui ajakan, tawaran, atau permintaan dari lawan tutur. Penolakan memenuhi fungsi memerintah dalam komunikasi verbal dengan sifat reaksi yang negatif.[15]

Istilah dan teori mengenai tindak tutur pertama kali diperkenalkan oleh J. L. Austin pada tahun tahun 1955 di Universitas Harvard, Inggris. Gagasan tertulis Austin terhadap teori tindak tutur baru diterbitkan pada tahun 1962 dalam sebuah buku berjudul How to Do Things with Words. Dalam karya tulisnya ini, Austin berpendapat bahwa tindakan terjadi selama individu mengatakan tentang sesuatu. Contoh yang diberikan untuk pendapatnya ini adalah ucapan janji yang melibatkan tindakan perjanjian, serta ucapan maaf yang melibatkan tindakan meminta maaf. Austin mengemukakan bahwa setiap ujaran tidak hanya merupakan tindakan untuk mengatakan sesuatu, tetapi juga bagian dari melakukan tindakan. Pandangan Austin mengenai tindak tutur mempengaruhi kajian linguistik.[16]

Tindak tutur yang dikembangkan oleh Austin terbagi menjadi lokusi, ilokusi dan perlokusi.[17] Lokusi merupakan tindak menuturkan sesuatu, sementara ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Sedangkan perlokusi merupakan maksud tuturan yang memberikan suatu pengaruh atau akibat kepada pendengar.[18]

Praanggapan diartikan secara sederhana sebagai tindakan menduga sebelumnya. Dalam arti lain, praanggapan adalah dugaan mengenai lawan bicara atau hal yang dibicarakan. Penduganya adalah pembicara atau penulis. Tindakan praanggapan muncul sebelum mengujarkan sesuatu. Levinson mengembangkan konsep mengenai praanggapan menjadi semacam anggapan atau pengetahuan terhadap latar belakang yang memberikan makna kepada suatu tindakan, teori, atau ungkapan. Suatu tuturan menjadi benar atau salah dapat ditentukan dengan adanya praanggapan.[19]

Istilah implikatur pertama kali diperkenalkan oleh Paul Grice pada tahun 1975. Impilkatur berarti maksud dari penutur yang tidak ada di dalam tuturan karena disampaikan secara berbeda dalam tuturannya. Pembicara umumnya telah mengetahui implikatur dalam komunikasi verbal.[20]

Charle W. Morris merupakan tokoh pemikir yang memperkenalkan istilah pragmatik untuk mewakili kegiatan pengkajian seluk-beluk penggunaan bahasa di bidang linguistik. Morris merupakan penganut behaviorisme dari Amerika Serikat. Ia mengembangkan pemikirannya dengan sumber inspirasi dan John Locke dan Charles Sanders Peirce. Kedua tokoh ini merupakan penganut pragmatisme yang kemudian mengembangkan semiotika. Morris mengembangkan semiotika dengan membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Menurutnya, pragmatik merupakan studi tentang hubungan tanda-tanda yang melibatkan tafsiran.[21]

George Yule memandang pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari mengenai makna dari komunikasi antara pembicara dan penerjemahannya oleh pendengar atau pembaca. Pragmatik dalam pandangan Yule mengutamakan makna dari pembicara ke pendengar dibandingkan makna dari kosakata yang dituturkan. Dalam pemikiran Yule, tafsiran perlu dimasukkan ke dalam pragmatik. Setiap konteks yang dibicarakan oleh pembicara perlu diketahui maknanya. Faktor yang dipertimbangkan ialah lawan bicara, lokasi dan waktu pelaksanaan pembicaraaan serta situasi pembicaraan.[22]

Analisis makna terhadap suatu humor dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu ilmu pragmatik yaitu bahasa samar. Makna dari suatu humor diketahui melalui pengungkapan makna atau ekspresi yang tidak dinyatakan secara jelas. Penggunaan bahasa samar dalam analisis makna di dalam humor disebabkan oleh sifat humor yang menyesuaikan dengan budaya dari penutur dan pendengar tuturannya. Persepsi budaya juga berlaku bagi humor yang disampaikan melalui tulisan oleh penulis untuk pembacanya. Pemahaman terhadap budaya dari penutur diperlukan untuk memahami kelucuan dari tuturannya.[23]

Analisis wacana merupakan analisis atas bahasa yang digunakan oleh penutur. Dalam kajian komunikasi, analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi terhadap bentuk bahasa yang tidak memiliki kaitan dengan tujuan atau fungsi komunikasi dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, analisis wacana dikembangkan dengan model inferensial agar pemahaman makna mencakup aspek kode dan juga premis-premis dalam komunikasi. Kajian wacana ini kemudian menggunakan konteks.[24] Pemakaian konteks dalam analisis wacana merupakan bagian dari pendekatan pragmatik.[25] Komponen pragmatik merupakan bagian yang menentukan fungsi kalimat dalam konteks komunikasi secara lisan maupun tulisan dari pembicara atau suatu informasi.[26]

Pragmatik merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian sastra. Fokus utamanya berkaitan dengan peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Dalam pendekatan pragmatik, peran pembaca adalah menentukan kelayakan suatu karya sastra untuk disebut sebagai karya sastra. Kelayakan karya sastra di dalam pendekatan pragmatik berkaitan dengan kemampuan karya sastra dalam menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Tujuan yang ingin disampaikan dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama atau tujuan yang lainnya. Keberhasilan suatu karya sastra dinilai berdasarkan keberhasilan penyampaian tujuan kepada pembaca. Pendekatan pragmatik lebih mengutamakan fungsi dalam memberikan pendidikan dan pengajaran. Bentuk pengajarannya berupa moral, agama maupun fungsi sosial lainnya. Suatu karya sastra dianggap berkualitas jika nilai pendidikan di dalamnya semakin banyak pula.[27] Penilaian karya sastra dalam pendekatan pragmatik dapat dilakukan oleh pembaca tanpa memperhatikan waktu penulisan karya sastra. Karya sastra dinilai dari pembaca pada zamannya maupun pembaca pada zaman setelahnya. Pendekatan pragmatik terhadap karya sastra dikenal dengan resepsi sastra.[28]

Penerjemahan merupakan proses interaktif yang melibatkan unsur semiotika, yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Ketiga unsur ini digunakan dalam analisis maupun sintesis. Kemungkinan yang dapat timbul selama ketiga proses tersebut berlangsung ialah cepatnya proses penyelesaian dan adanya perpaduan antara analisis dan sintesis menggunakan pendekatan simultan terhadap klausa. Simultan ini dapat berbentuk pengenalan pola maupun prosedur inferensi yang sebelumnya telah dilandasi oleh pengalaman dan harapan.[29]

Peran dari analisis pragmatik adalah untuk memperoleh pemahaman terhadap bahasa sumber yang meliputi tujuan teks, struktur tematik dan gaya teks.[30] Dalam penerjemahan bahasa sumber, pragmatik mengutamakan aspek ketepatan informasi. Sementara aspek kebahasaan kurang dipertimbangkan. Penerjemahan pragmatik antara lain pada dokumen-dokumen teknik yang digunakan sebagai instruksi manual. Salah satu penerapan praktisnya adalah pada dokumen untuk perakitan mesin oleh mekanik.[31]

Penerapan pragmatik dalam pemerolehan bahasa kedua terjadi secara alami. Situasi yang menimbulkannya adalah interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi. Pemakaian bahasa kedua pada komunikasi harian akan meningkatkan motivasi dari pembelajar bahasa tersebut. Pembelajar bahasa kedua menggunakan strategi pragmatik secara alami. Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan pengetahuannya terhadap suatu bahasa dan menghindari topik-topik yang tidak dikuasai. Pada proses ini, pembelajar bahasa kedua memusatkan perhatian terhadap inti komunikasinya sehingga sesuai dengan tujuan, situasi dan tugas dari individu yang berkomunikasi.[32]

Pragmatik merupakan kajian utama dalam linguistik pada manusia yang masih dalam usia sekolah. Ilmunya digunakan secara praktis pada bentuk komunikasi yaitu bertutur dan bercakap.[33] Para pemikir pragmatik memberikan sumbangsih berupa teori mengenai perkembangan pembelajaran bahasa pada anak. Dalam teori ini, anak belajar untuk menguasai bahasa dengan tujuan untuk sosialisasi dan mempengaruhi perilaku orang lain agar sesuai dengan keinginannya. Dalam teori pragmatik, anak belajar bentuk dan arti bahasa karena adanya motivasi berupa kebermanfaatan dari fungsi bahasa. Michael Halliday membuat analisis terhadap cara anak dalam mengembangkan bahasa awal melalui interaksi dengan orang lain. Ia kemudian membaginya menjadi beberapa jenis, yaitu bahasa instrumental, bahasa dogmatis, bahasa interaksi, bahasa personal, bahasa heuristik, bahasa imajinatif dan bahasa informasi. Para penganut teori pragmatik lainnya juga mempelajari tentang konteks kalimat dan kecenderungan pembicara dalam berbagai kegiatan berbahasa. Kekurangan dari teori pragmatik adalah tidak mampu menjelaskan tentang cara anak belajar tentang sintaksis.[34]

Latar belakang munculnya pragmatik dalam linguistik dapat dilihat dari berbagai aspek, mulai dari pemikiran filosofis hingga perkembangan dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Beginilah sejarah pragmatik dalam linguistik.

Baca juga: Pragmatik dalam Linguistik: Pengertian, Tujuan, Hasil, dan Manfaat

Pertama, pemikiran filosofis yang mendasar tentang komunikasi dan pemahaman memainkan peran penting dalam munculnya pragmatik dalam linguistik. Sejak zaman Yunani kuno, filsuf-filsuf seperti Socrates dan Plato telah mempertanyakan bagaimana kita dapat saling berkomunikasi dan memahami satu sama lain.

Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi sebuah bidang ilmu yang dikenal sebagai filsafat linguistik, yang mencoba menjelaskan bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan makna dan bagaimana makna diterima oleh penerima.

Selanjutnya, perkembangan dalam bidang filsafat linguistik menyebabkan munculnya pragmatik dalam linguistik. Pada awal abad ke-20, filsuf-filsuf seperti Gottlob Frege dan Bertrand Russell berusaha menjelaskan bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi.

Namun, mereka menemukan bahwa bahasa tidak selalu digunakan untuk menyampaikan informasi secara langsung, melainkan juga digunakan untuk menyampaikan makna kontekstual. Inilah yang menyebabkan munculnya bidang baru dalam filsafat linguistik yang dikenal sebagai pragmatik.

Perkembangan dalam bidang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi juga memainkan peran penting dalam munculnya pragmatik dalam linguistik. Ilmu-ilmu sosial ini memberikan pemahaman baru tentang bagaimana bahasa digunakan dalam interaksi sosial dan bagaimana bahasa diterima dalam konteks pemakaian.

Selain itu, perkembangan dalam bidang komunikasi, terutama dalam perkembangan teknologi komunikasi yang membuat kita menyadari pentingnya pemahaman pragmatik dalam komunikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi semakin cepat dan global. Ini membuat kita menyadari bahwa pemahaman pragmatik sangat penting dalam berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan dalam berbagai situasi komunikasi.

Jadi, munculnya pragmatik dalam linguistik didorong oleh keinginan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks pemakaiannya dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks tersebut.

Selain itu, hal-hal berikut juga memainkan peran dalam munculnya pragmatik dalam linguistik.

Pragmatik menawarkan cara baru untuk memahami bahasa dan komunikasi yang lebih komprehensif dan kontekstual.